Musik
adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang mengalun secara teratur sehingga
enak untuk disimak. Pada zaman kuno, terdapat mitos dari sekelompok masyarakat
yang percaya bahwa musik memiliki kekuatan ajaib untuk menyempurnakan jiwa dan
raga. Pada zaman now, terdapat anggapan bahwa musik mempunyai kekuatan
untuk mencirikan pandangan pribadi dan kecenderungan masyarakat.
Menyimak
berbagai jenis pertunjukan musik di Indonesia, barangkali dapat dikatakan bahwa
tidak ada yang lebih meriah dan meriak dibandingkan dengan dangdut. Hal ini
bisa diamati melalui tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam media massa,
perbincangan di lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para pengunjung yang
menghadiri pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut dapat menarik
perhatian banyak kalangan.
Dangdut,
di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat, khususnya buat yang
sedang dalam kesulitan. Larik lirik dangdut yang banyak memuat kisah tentang
pergulatan pribadi dalam berjuang di tengah kehidupan sosial yang kadang
timpang seakan menjadi penyalur rasa terpendam.
Di
sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu. Apalagi
dangdut terbilang lentur, tak kaku untuk berpadu dengan beragam pengaruh yang
tumbuh dalam dunia olah rasa, mulai dari nada ala Timur sampai Barat, tingkat ndeso
hingga dunia.
Cibiran
terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis penyanyinya
semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena baru dalam
pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan goyangan erotis
sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya terbuka untuk kalangan
dewasa belaka. Perbedaan tajam mulai terjadi pada dekade 2000-an, ketika
goyangan erotis menjadi sajian biasa nyaris di setiap pertunjukan, baik on
maupun off air. Masyarakat yang sejak dulu menganggap bahwa goyangan
erotis sebagai perbuatan tabu pun mulai bereaksi secara menggebu.
Keadaan
sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita) belakangan ini
mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan mendapat
perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada yang
disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal ini
memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga
menggunakannya sebagai sarana menambang uang.
Sayangnya,
biduanita juga kerap dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan
tanpa peduli kualitas vokal. Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual
penampilan badan, masalahnya ialah hal ini dilakukan di pasar yang menjajakan
vokal.
Keadaan
tersebut tampak disadari sepenuhnya oleh Aini Zhafara. Aini Zhafara merupakan penyanyi
kelahiran Indonesia yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk
ditekuninya.
Google
Trends pada 4 Maret 2022 pukul 23:26 WIB menunjukkan bahwa penelusuran “Aini Zhafara” pada
4 Maret 2022 pukul 23:26 mulai muncul pada Agustus 2016. Sementara penelusuran
“Aini Zafara” mulai
muncul pada Desember 2016. Grafik Google Trends menunjukkan bahwa kedua istilah penelurusan
tersebut sama-sama mengalami peningkatan setiap waktu.
Penelusuran
melalui Youtube dengan kata kunci “Aini Zafara” pada 4
Maret 2022 pukul 23:33 menunjukkan bahwa video penampilan Aini Zhafara telah
ditonton oleh jutaan kali oleh pemirsa YouTube. Misalnya penampilan pada 28 Mei
2021 di Panggung Alpha Bravo Enterprise I membawakan lagu Bunga, sampai 4 Maret 2022 pukul 23:34
sudah 3.012.157 kali ditonton.
Penelusuran
melalui Youtube dengan kata kunci “Aini Zhafara” pada
4 Maret 2022 pukul 23:33 juga menunjukkan bahwa video penampilan Aini Zhafara
telah ditonton oleh jutaan kali oleh pemirsa YouTube. Misalnya penampilan pada
8 Juni 2021 di Panggung Alpha Bravo Enterprise I membawakan lagu Oplosan, sampai 4 Maret 2022 pukul 23:34
sudah 2.065.551 kali ditonton.
Tak
hanya ketika tampil membawakan lagu, pesona Aini Zhafara juga bisa mendorong
pemirsa YouTube untuk menikmati tayangan di luar panggung. Milsanya tayangan live pada 1 Desember 2021, yang sampai 4
Maret 2022 pukul 23:40 sudah 91.471 kali ditonton. Informasi tersebut
menunjukkan bahwa Aini Zhafara termasuk sosok yang dapat dianggap populer.
Banyak khalayak
yang memandang Aini Zhafara “modal badan doang”. Tak dimungkiri bahwa kesintalan
badan turut berperan dalam melambungkan nama Aini Zhafara. Karena kesintalan badan
pula Aini Zhafara banyak mudah mendapatkan cibiran kelewat cemar. Cibiran yang nyaris
membutakan hingga enggan mendengar, alih-alih mengapresiasi, kualitas vokal.
Wajar saja. Sah-sah
saja. Mungkin penampilan Aini Zhafara memantik amarah sebagian orang. Amarah yang
muncul karena cemburu, dengki, atau jengkel. Sementara tak bisa dielakkan lagi bahwa,
“Mata yang penuh amarah hanya memandang segala yang nista sepertihalnya mata yang
cinta akan tumpul terhadap semua cela.”
Pertanyaannya,
salahkah memanfaatkan modal badan, semisal menjual kecantikan? Sebagian orang mungkin
akan menjawab iya. Naomi Wolf dalam buku The Beauty Myth
menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi
perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik.
Pandangan Naomi
beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang lengkap untuk
menjadi genggaman. Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu
modal untuk perempuan, seperti diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui konsep erotic capital.
Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual,
sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain. Ada enam (atau
tujuh) bagian dalam erotic capital. Erotic capital sama pentingnya
dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic
capital juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka
bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu kebetulan
alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).
Cibiran terhadap
Aini Zhafara banyak berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil
tekun belajar, sedangkan penampilan badan adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu
yang diperoleh lewat kerja keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat
tanpa usaha. Padahal posisinya bisa saja terbalik. Pasalnya faktor genetis pun,
terutama dari ibu, berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan
untuk tampil cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga
pola konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak perlu membutakan
mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat beragam kemudahan.
Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Sharapova. Pendapatan sebagai model
jauh lebih banyak ketimbang menjadi petenis. Maria bahkan masih tetap menambah kekayaan
saat diskors gara-gara kasus obat-obatan terlarang.
Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan
sepertihalnya kecerdasan?
Ketika ada perempuan
dandan, dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka
waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan
malahan tak jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan,
seperti modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.
Lebih menyesakkan
lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya dilabeli ‘matre’
yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan. Padahal, alasan di balik julukan
‘matre’ ini adalah bahwa lelaki harus mendapatkan kenikmatan yang mereka
inginkan dari perempuan secara gratis, terutama seks (sex).
Kecantikan dan
upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta kontes
kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan kecantikan dilihat
sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh perempuan. Perempuan
yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan semuanya, hanya boleh
memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa? Whyyy?
Aini Zhafara
termasuk perempuan yang menggunakan kecerdasan dan kecantikan. Sah-sah saja kalau
Aini Zhafara rajin merawat ‘bagian favorit’ atau ‘aset’ atau apalah sebutannya
pokoknya di situlah letaknya. Pantat perempuan termasuk salah satu bagian yang memiliki
daya pikat kuat dalam merangsang gairah seks lelaki.
Seks terbilang
nafsu yang paling sosial. Tanpa memperhitungkan moral, secara naluriah kita bisa
turut bergembira menyaksikan orang lain yang sedang memenuhi nafsu seksnya. Kita
punya hasrat kesenangan walaupun sekadar untuk menontonnya. Itulah kenapa ada pornografi,
yang melahirkan industri seperti blue film (BF) dan majalah dewasa dengan
omzet besar.
Seks berbeda
dengan nafsu lain, misalnya nafsu makan. Adakah orang, terutama lelaki, yang sanggup
suntuk berjam-jam menyaksikan tayangan dengan sajian berupa adegan-adegan orang
sedang makan bakwan biarpun orang itu adalah Via Vallen? Adakah media pendulang
iklan yang menjebak pengunjung dengan gambar Grace Natalie sedang mangap ngemplok
cilok?
Saking sosialnya
nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian. Ia jadi empuk
sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan. Ia juga legit buat stok pengalihan
isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan sewaktu-waktu. Sebab, kabar terkait seks
tidak cuma memberikan informasi, walakin memberdayakan imajinasi.
Aini Zhafara
menyadari sisi ini, mengerti hal ini. Tak risau dengan segala caci-maki maupun puja-puji,
dirinya berusaha memanfaatkannya memenuhi kebutuhan diri, juga memberdayakan
lelaki.